Tuesday, October 23, 2012

PAULO UCHIBORI


Gelombang penganiayaan yang keras terjadi di Jepang pada awal tahun 1600, di mana selama waktu tersebut banyak umat Kristen menjadi martir. Pada tanggal 20 Februari 1627, pemimpin gereja bernama Paulo Uchibori, istrinya dan ketiga anaknya di tahan karena menampung para misionari.

Pada hari itu, Paulo dan 37 orang Kristen lainnya di pukuli, di arak telanjang melalui pusat kota dan di penjarakan di Istana Shimabara. Pada keesokan harinya, orang-orang Kristen tersebut di aniaya. Pemerintah tidak berkeinginan menjadikan mereka martir, tetapi mereka menggunakan cara-cara terkeji untuk memaksa orang-orang Kristen menyangkal iman mereka.

Salah satu prajurit mengusik Paulo ketika ia memegang sebilah pisau, dengan berkata, “Berapa banyak jari anak-anakmu yang harus kami ambil ?” Paulo menjawab, “Semua terserah padamu.” Para prajurit memotong semua jari anak-anak Paulo kecuali jempol dan kelingking mereka, dengan berkata orang-orang Kristen seharusnya mempunyai jari lebih sedikit dari binatang.

Dua anak tertua Paulo, Antonio dan Barutabazaru merelakan jari-jari mereka kepada para prajurit tersebut, tanpa menangis atau menunjukkan kesakitan. Anak Paulo yang bungsu, Ignatius, berumur lima tahun juga tidak menunjukkan rasa sakit saat jari-jari tangannya di potong. Ia mengangkat tangannya yang berlumuran darah ke langit, mempersembahkannya kepada Allah.

Mereka yang melihat hal ini menjadi terkejut dan tersentuh hatinya menyaksikan keberanian anak-anak itu. Lalu para prajurit mengikat tangan dan kaki ke-16 tahanan tersebut termasuk anak-anak Paulo dan melemparkannya berkali-kali ke dalam air es yang sangat dingin di Teluk Shimabara.

Walaupun demikian, orang-orang Kristen tersebut tidak mau menyangkal iman mereka. Kata-kata terakhir Antonio sebelum ia hilang di telan laut adalah, “Ayah, kita harus bersyukur kepada Allah karena memberikan kita berkat luar biasa seperti ini.” Setelah anak-anaknya di tenggelamkan, wajah Paulo dicap dengan tiga huruf Jepang dari kata “Kristen.” Ia di lemparkan ke jalan-jalan dengan tulisan di baju kimononya yang terbaca, “Di hukum karena menjadi Kristen. Di larang menolong orang ini atau memberinya perlindungan.”

Seminggu setelah kematian martir anak-anaknya, Paulo di bawa ke atas Gunung Unzen dengan ke 15 orang Kristen lainnya untuk merasakan “siksaan di dalam neraka kawah Unzen.” Paulo di gantung terbalik dan di turunkan ke atas permukaan air sulfur yang mendidih berkali-kali. Ia berdoa dengan suara keras setiap kali, menyadari ia adalah bagian dari Tubuh Kristus, “Perjamuan Suci harus disucikan.”

Akhirnya, tubuhnya di lemparkan ke dalam kawah mendidih yang menguap. Kesaksian iman Paulo dan anak-anaknya menguatkan kita. Kita tahu bahwa mereka dan orang-orang KRISTEN lainnya yang menjadi martir telah di terima dalam hadirat YESUS dan sekarang mengenakan jubah putih.

Saudaraku, mari kita belajar dari martir iman PAULO UCHIBORI, bahwa apapun yang terjadi tidak akan sanggup memisahkan dia dengan BAPA, sekalipun ia harus kehilangan nyawa dan keluarganya, imannya tetap teguh.

Bila selama ini, kita masih suka berkeluh kesah akan sulitnya keadaan, marilah berkaca kepada pengalaman iman PAULO UCHIBORI. Bahwa kesulitan hidup kita tidak sesulit apa yang mereka alami dan orang-orang KRISTEN lainnya di muka bumi ini. Mengucap syukurlah senantiasa .

No comments:

Post a Comment