Wednesday, October 10, 2012

CINTA TANPA SYARAT

Pak Suyatno 58 tahun, kesehariannya di isi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun dan dikarunia 4 orang anak. Disinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa di gerakkan dan itu terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnya pun sudah tidak bisa di gerakkan lagi.

Setiap hari Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.

Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka. Sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari ke empat anak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil. Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata ” Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu”.

Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya “Sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya. Kapan bapak menikmati masa tua bapak. Dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.

Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.” Anak2ku Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. Sejenak kerongkongannya tersekat, kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai dengan apapun.

Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, Kalian menginginkan bapak yang masih di beri Tuhan kesehatan di rawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno.

Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata ibunya. Dengan pilu di tatapnya mata suami yang sangat di cintainya itu. Sampailah akhirnya Pak Suyatno di undang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber. Mereka mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa. Disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yag hadir di studio kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru.

Di situlah Pak Suyatno bercerita. “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi ( memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit.

Mampukah kita mencintai tanpa syarat seperti debu yang rela menghilang di terpa hujan dan seperti kayu yang rela menjadi abu untuk api cinta yang paling agung adalah cinta hamba pada penciptanya, cinta tanpa syarat mampukah???

No comments:

Post a Comment